Melompati Nasib (I)

 

Ada yang mau belajar bareng saya? GRATIS di Channel Telegram! :)

Melompati Nasib

sangpena.com – Melompati Nasib

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, awal November 2005. Di rumah sederhana itu saya sedang berbincang dengan bapak. Di luar anak-anak kecil ramai menyalakan petasan, di mushola 100 meter dari rumah juga sedang semarak takbiran. Besok adalah hari istimewa untuk siapapun yang berpuasa selama Ramadhan, termasuk keluarga kecil kami. Saya masih SMP kala itu, awal kelas VIII tepatnya.

Malam itu bapak meminta dipijit – hal yang rutin diminta kepada anak-anaknya, kebetulan karena saya yang di rumah. Sambil memijit, beliau bercerita bahwa besok akan hujan deras di kampung ini. Ngomong ngalor-ngidul, kemudian beliau sampai ke sebuah poin penting, bahwa dari keempat anaknya, kelak hanya saya yang BEDA, tidak ada penjelasan detail tentang apa yang menjadi pembeda karena saya langsung pamit untuk pergi ke musholla.

Tidak ada firasat apapun, keesokan harinya idul fitri juga berlangsung dengan penuh sukacita. Anak-anak kecil yang silaturahim ke rumah sederhana kami semua digendong oleh bapak, satu-satu dan diberi jajan dan disemprot parfum. Tidak ada gurat kelelahan di wajah beliau, semua baik-baik saja. Keluarga kecil kami baik-baik saja. Bahagia dalam sederhana.

 

Tutorial Memasukkan Keyword di File EPS Shuttersotck Baca di sini!

Banyak sekali tamu yang datang ke rumah, saudara jauh, tetangga kanan kiri. Semua berkunjung, sekedar silaturahim – yang dari jauh untuk melepas rindu karena kadang hanya bisa bersua saat lebaran saja. Yang tetangga dekat – inilah namanya tetangga, hanya momen lebaran yang memungkinkan untuk berkunjung dari rumah ke rumah sehari penuh.

Siapa sangka, bahwa itu adalah hari terakhi kami bersama dengan bapak. Sore hari selepas maghrib, bapak kami berpulang ke rahmatullah. Tanpa keluhan sakit, tanpa ke rumah sakit, tanpa pernah mengeluhkan apapun kepada keluarga kecil ini. Hanya sesekali memang rutin bapak meminta untuk dibelikan puyer dan obat sakit kepala. Beliau “pulang” dari rumah, di tempat tidur beliau yang juga sederhana yang setia menemani beliau berpuluh tahun.

Saya tidak menangis – sedikitpun. Hanya memeluk adik kecil saya yang masih SD dan tampak bingung karena mendadak banyak orang ke rumah. Melihat kakak laki-laki saya yang meraung menangis di jasad beliau yang terbaring tenang. Ibu sama tegarnya, beliau ke sana kemari mengurus banyak hal untuk pemakaman. Kakak perempuan saya sudah menikah dan saat itu masih perjalanan ke rumah.

Malam itu saya mengerti, maksud bapak bahwa besok akan hujan deras adalah hujan air mata dari keluarga kecil kami. Sedangkan luar cerah sekali, gelap gulita di tanggal 1 syawal – hari itu masih suasana idul fitri seharusnya – tapi kami seperti kehilangan lentera yang menyempurnakan keluarga kecil kami.

Keesokan harinya, Jum’at – setelah bapak dimakamkan – saya baru menangis. Sejadi-jadinya karena kesadaran itu sudah kembali dengan sempurna: saya YATIM. Sebuah kondisi yang anak-anak dimanapun tidak menginginkannya. Dan saya sadar, sebagai anak laki-laki, bahwa perjuangan seorang ibu sebagai single parent akan lebih berat dalam menghidupi anak-anaknya, menghidupi kami yang masih belum mengerti cara mendapatkan sesuap nasi.

Bersambung…

Jakarta, 19 Januari 2016

 

Mau Font Gratis Free For Commercial Use? Klik Di Sini

Blogger yang tersesat dalam dunia design grafis plus main biola sejak 2014. Saat ini bersama istri dan putra pertama tinggal di Kota Bandung. Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, gratis! :D

Related Posts

This Post Has 6 Comments

  1. Saya tidak sempat melepas kedua orang tua saya, karena tinggal berjauhan. Saya sekolah di kota jauh dari kampung, dan sudah bekerja. Ketika Ibu saya meninggal saya ketemu jenazah beliau dimandikan mau disholatkan. Ketika Bapak saya wafat saya ketemu wajahnya di dalam kubur ketika mau dimasukkan liang lahat. Dua-duanya sedih tak terhingga.

  2. Ayah saya juga meninggal pada suasana lebaran. Ketika itu semua keluarga alhamdulillah sudah berkumpul di rumah. Kalimat terakhir yang sampai sekarang saya ingat adalah beliau meminta saya terus mempelajari Al-Qur’an. Semoga saya bisa merealisasikan harapan ayah. Aamiin

Leave a Reply to Mutia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *