Buntu dan bingung tidak punya ide produksi stock desain? Dapatkan Gratis Di Sini
Dengarlah cerita dari para muallaf sejati, kisah-kisah tentang ujian. Mereka yang rela diusir dari rumahnya. Mereka yang harus berpisah dengan orang-orang tercinta. Mereka yang berlepas dari kemewahan menuju kefakiran demi menggapai ridho Allah. Dengarlah kisah-kisah mereka, agar dapat kita pahami ayat Allah yang mulia:
“Kalian sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan diri kalian. Dan kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang musyrik, gangguan yang banyak lagi menyakitkan hati…” (Q.s. Ali ‘Imran [3]: 186)
Nilai mulia seorang pengikrar tentu bukan sebatas suara lantangnya dalam meneriakkan slogan. Ketika seorang pengikrar telah menyatakan berpisah dari segala bentuk jahiliah dan musuh fitrah maka di sinilah titik tolak dipancangkan: bahwa ia siap menerima segala bentuk ujian untuk melengkapi syarat kelulusannya sebagai seorang mukmin:
“Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan saja setelah mengatakan “Kami telah beriman”, padahal mereka belum diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (Q.s. al-‘Ankabut [29] 2-3)
Tulisan baru: 9 Situs Microstock Terbaik Tahun 2024 Baca di sini!
Keluarga Yassir yang dijanjikan surga, menjadi kronik menyejarah tentang beratnya ujian di saat harus berpisah dengan jahiliah. Bilal adalah sosok lain, bak kacang goreng hitam legam, menggosong di pinggiran Makkah yang membakar. Tapi, lihatlah apa ujiannya. Cambuk, tindihan batu, pukulan kayu, sengatan matahari adalah semacam “menu harian” yang disajikan bagi seorang ahli iman Makkah di awal-awal risalah kenabian.
Khabbab ibn Al Arats, pandai besi yang pernah dipanggang hingga cairan tubuhnya memadam bara itu begitu trenyuh sampai merajuk, “Yaa Rasulallah, tidakkah engkau menolong atau berdoa untuk kami?” Wajah mulia yang sedang berbaring berbantal surban di dekat Ka’bah itu menampakkan raut tak suka. Lalu ia bersabda dengan mimik penuh kasih. Imam Al Bukhari mengabadikan redaksi kalimat tersebut:
“Orang-orang sebelum kalian ada yang disika dengan digalikan tanah lalu ia ditanam di situ hidup-hidup. Kemudian dibawakan gergaji lalu gergaji itu diletakkan di atas kepalanya, kemudian dibelah menjadi dua dan disisir dengan sikat besi hingga tinggal kulit dan tulangnya. Tetapi itu semua tidak memalingkan mereka dari agamanya. Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya, Allah akan menyempurnakan urusan ini sampai seorang penunggang berjalan sendirian dari Shan’a ke Hadhramaut dan tiada yang ditakutinya kecuali Allah, dan tidak takut serigala akan memakan kambingnya, tapi tampaknya kalian tergesa-gesa!”
Ini tak sekadar kesengsaraan. Ini bukan hanya kenestapaan. Terjelaslah, ia dan orang-orang yang bersamanya sedang meniti jalan cerita yang disusun Sang Maha Pencipta. Ia sedang menggali lubang terdalam, menata batu terkeras, menyusun pondasi terkuat. Maka rasa sakit itu terasa menanjak, agar harapan akan pertolongan Allah semakin memuncak.
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam ujian), hingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat!” (Q.s. Al-Baqarah [2]: 214)
Apakah cukup sampai di situ? Tidak!
“Kamu tidak akan menjumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah yang telah Allah tulis di dalam hati mereka kalimat iman dan Ia kuatkan mereka dengan ruh (pertolongan) dariNya…” (Q.s. Al-Mujaadillah [58]: 22)
Nuh, Luth, Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun harus rela terpisah dengan pendamping hidupnya. Bahkan Nuh, harus merelakan putranya ditelan banjir karena kekufuran.
Gemilang generasi pertama ummat ini menbyelesaikan ujiannya. Mereka menemukan ‘aqidah sebagai buhul ikatan pengganti sempurna untuk menggantikan ikatan jahiliah yang telah lapuk membusuk. Allah, Rasul dan jihad begitu mereka cintai. Tak ada lagi alasan untuk mencari cinta yang lain, apatah lagi menyayangi apa yang dibenci Allah dan RasulNya.
“Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya!” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq” (Q.s. at-Taubah [9]: 24)
Tegar Ummu Habibah merebut alas duduk dari Abu Sufyan ayahnya dengan alasan sederhana, “Ayah adalah seorang musyrik yang najis, sementara ini adalah alas duduk Rasulullah…” Begitu juga kita temukan tegasnya Abu Bakar menghardik kekufuran anaknya di medan Badar, “Tidak ada warisan tersisa untukmu selain pedang terhunus ini wahai anak kecil yang buruk…!
Alangkah ringan Shuhaib melangkah meninggalkan semua usaha yang ia mulai dari nol sebagai imigran di Makkah untuk berhijrah. Seindah cara Sa’d ibn Abi Waqqash yang menghentikan mogok makan ibu yang sangat disayanginya dengan berkata, “Bunda, seandainya Bunda memiliki seratus nyawa, dan ia keluar satu per satu di hadapan nanda untuk memaksa nanda meninggalkan keyakinan ini, sekali-kali nanda tak akan pernah meninggalkan agama ini selama-lamanya!”
Tetapi, jangan pernah terbalik logikanya. Demi Allah, bukan Islam yang menceraiberaikan ikatan. Justru kekufuranlah yang memisahkan ahlinya dari kasih sayan, manis dan lembut mesra persaudaraan keimanan. Jadi jangan terbalik!
Semarang, 28 November 2016
Punya Telegram? Belajar bareng yuk, GRATIS di Channel Telegram!