Buntu dan bingung tidak punya ide produksi stock desain? Dapatkan Gratis Di Sini
sangpena.com – Cerpen oleh: Yos Yuswinardi | Seperti Pertama Diterima dan Dinas Di Kantor Itu | Seperti sejak mula pertama ia diterima dan dinas di kantor itu, Tokoh kita kehilangan gairah sama sekali. Ketika kakinya memasuki halaman kantor dinas dan masuk ke ruangan kerjanya yang pucat dan dingin, hatinya jeri dan ngilu. Serasa ada beban yang membuat punggungnya membengkok dan semangatnya terperosok. Apalagi demi melihat tempelan-tempelan kertas di dinding soal aturan kepegawain dan slogan-slogan pelayanan ke masyarakat, tambah bungkuklah hatinya.
Tak terbayangkan sebelumnya, tokoh kita diterima menjadi pegawai negeri. Apa boleh buat, segalanya datang dan menggelombang menggoncang-goncang kesadaran. Tadinya tokoh kita hanya iseng belaka mengikuti ujian masuk pegawai negeri. Tak terbersit pikiran untuk diterima dan menjalani hari-hari sebagai abdi Negara dengan seragam kebesaran itu. Dan begitulah, tokoh kita diterima. Siapa sangka? Bahkan bapak ibunya pun tidak. Sanak kerabatnya pun tidak.
Sejak duduk di bangku perkuliahan dan aktif dalam organisasi dan demonstrasi, tokoh kita suaranya lantang dan mengutuk-ngutuk aparat abdi Negara sebagai pekerja-pekerja malas, koruptif dan buang-buang uang Negara. Bahkan tokoh kita selalu sinis jika mesti bertemu dan ngobrol-ngobrol dengan sanak kerabatnya yang pegawai negeri itu. Tapi sekarang? Tokoh kita pun seperti tak bisa berbuat apa-apa.
Menjadi pegawai negeri tak ada salahnya bukan? Hidupmu terjamin sampai hari tua. Anak istrimu terjamin pula hidupnya. Begitu kira-kira nasehat dari bapak ibunya dan sanak kerabatnya. Tokoh kita hanya menggeleng dan seolah hendak memberontak. Tapi yang ada hanya suara menggeram dan ia telan sendiri kenyataan yang membuat kepalanya terbenam.
Tulisan baru: 9 Situs Microstock Terbaik Tahun 2024 Baca di sini!
Sedang karibnya yang lain bilang, ah siapa yang menjamin hidup sebagai pegawai negeri terjamin? Memang siapa yang menjamin bahwa hidup tidak akan berkelok-kelok dan penuh lubang untuk terperosok? Memang kau bisa menjadi pegawai negeri yang baik? Yang konsisten tepat waktu dan bekerja dengan baik melayani masyarakat? Kalau tidak, apa gunanya dahulu kau mengutuk-ngutuk pegawai negeri sebagai sumber kebobrokan dengan pelayanannya itu yang malas-malasan? Kau tidak sedang melawak, kan? Jangan lupa dengan seranganmu dulu!
Pun bila hendak menyanggah gugatan karib-karibnya, tokoh kita hanya mampu sekedarnya memberi sanggahan. Aku butuh pekerjaan. Aku butuh melindungi perutku dari kelaparan. Dengan begitu karibnya hanya menggeleng-geleng sambil berdecap. Tokoh kita tahu, karib-karibnya menyayangkan sebab besi yang dulu lurus sekarang bengkok dan karatan.
Tokoh kita pun seperti tak berdaya. Ia merasa seperti bola biliar yang disodok ke sudut yang dibencinya. Sedang di luaran sana, mencari pekerjaan tak segampang yang dibayangkan. Bahkan untuk sekelas mantan aktivis dengan segudang pengalaman dan jaringan. Ah, Ini untung apa buntung? Demikian tokoh kita sering menimbang sampai berdenyut kepala. Dan dadanya sering dibuat sesak begitu kenyataan lain dengan apa yang diinginkan. Semua melenceng dari yang diharapkan. Yang ia kutuk sekarang malah menjadi yang ia peluk. Tokoh kita malu, tidak hanya kepada bapak ibunya, karibnya, terutama kepada sanak kerabatnya. Seolah ludahnya yang bacin memenuhi mukanya. Jika begitu, satu-satunya jalan pelarian adalah minuman atau bergendak di karaokean. Tokoh kita menjadi kusut layaknya kaos kaki dekil di sepatu yang jebol solnya.
Hari itu tokoh kita masuk kerja seperti biasanya seperti hari-hari yang lain. Rapi dengan seragam kebesaran abdi Negara dan berbasa-basi sedikit dengan senyuman palsu kepada rekan sejawatnya. Duduk dan menghadap meja kerjanya seperti biasa. Segelas teh tersedia di atas meja dan tumpukan berkas-berkas yang membikin malas. Kepala dinas? Ah, paling keluar kota untuk tugas dinas yang tidak jelas. Dan kantor dinas itu seperti hari-hari yang lain; murung dan serupa kurungan burung. Hanya cekikikan, ngobrol-ngobrol ngrasani dengan diselingi suara televisi yang sumbir sesekali merebak di udara. Kemudian tokoh kita mengambil Koran hari itu, duduk lalu menyeruput tehnya dengan dada berat. Ia membaca. Duduk membaca saja. Seperti sejak mula pertama ia diterima dan dinas di kantor itu.
Punya Telegram? Belajar bareng yuk, GRATIS di Channel Telegram!